NAMA : DEDY SYAMSUDIN
NPM : 30108512
KELAS : 2 DB07
Praktik jaringan mafia kasus bekerja secara sistematis dan terorganisasi. Praktik ini melibatkan oknum-oknum “nakal” di institusi penegak hukum, baik kepolisian, kejaksaan, maupun lembaga peradilan. Untuk menghubungkan semua link lembaga penegak hukum ini, biasanya pihak di luar institusi dilibatkan.
SJ, yang diduga sebagai makelar kasus dan telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Mabes Polri, disinyalir sebagai pihak yang berperan menjadi penghubung antara penegak hukum dan pihak yang beperkara. Hal itu dikatakan oleh Kepala Bidpenum Polri Zulkarnaen pascapenetapan SJ sebagai tersangka. Modus apalagi yang biasanya dijalankan?
Lobi di pengadilan
Kasus yang sudah sampai pada tahap persidangan pun masih bisa dilobi. Salah seorang pengacara, Luthfie Hakim, menuturkan bahwa biasanya tawaran datang dari orang luar atau dalam pengadilan. Menurut Luthfie, orang dalam pengadilan biasanya panitera. Ia menceritakan pengalaman menangani perkara kelas kakap yang melibatkan adik seorang konglomerat sebagai salah satu tersangkanya.
“Saya menangani legalnya. Tapi ada lawyer yang menangani lobi. Saya katakan, (klien) pasti kena karena waktu itu kan tersangkanya ada empat dan sudah 'dibabat' semua, ngaku semua. Ketika saya bilang pasti kena, adik konglomerat itu pusing. Kata lawyer lobi, enggak akan. Dia bilang Polri 1, 2, 3 sudah dibereskan. Akhirnya belakangan saya baru tahu kalau BAP diganti, pertanyaan dan jawaban dibuat sendiri. Kasusnya akhirnya di-SP3. Saya menghindari terlibat seperti itu dan saya bilang, rusak kalian bikin pengadilan ini,” ujar Luthfie kepada Kompas.com, Rabu (14/4/2010).
Memilih majelis hakim
Riset Indonesia Corruption Watch tahun 2001 pada institusi penegak hukum di beberapa kota di Indonesia juga menunjukkan adanya praktik memilih hakim yang akan menangani kasus dengan menghubungi pimpinan pengadilan.
“Ada kalanya pengacara langsung menghubungi ketua PN atau PT. Hakim-hakim yang dipilih biasanya yang berasal dari suku yang sama dengan harapan perkaranya akan ditangani secara kekeluargaan. Tetapi kebanyakan hal ini dilakukan melalui panitera. Pengacara menghubungi panitera agar dihubungkan ke ketua PN untuk melakukan negosiasi penentuan majelis hakim yang akan menangani perkara kliennya. Secara aktif, pengacara mewakili kliennya melakukan modus ini. Tapi ada juga beberapa pengacara yang tidak mau melakukan negosiasi ini sehingga kliennya-lah yang aktif melakukan negosiasi dengan panitera,” demikian dalam laporan riset ICW.
Hakim dipilih agar majelis hakim yang menangani perkara dapat diarahkan sesuai dengan keinginan pihak-pihak yang berkolusi.
Pemerasan dan suap
Modus lain yang diungkap dalam riset ICW adalah seorang hakim dapat menghubungi pengacara atau pihak yang beperkara dalam kasus yang ditanganinya. Biasanya berdasarkan modus yang digunakan, utusan tersebut akan menyampaikan bahwa putusan sudah disiapkan, tetapi masih terdapat kelemahan atas bukti yang diajukan.
Tawaran “bantuan” memperkuat bukti tentunya tidak gratis. Jika pengacara tidak ingin turut menyuap hakim, maka dia menyerahkan masalah suap-menyuap itu kepada kliennya. Pengacara akan menghubungi hakim yang meminta uang bahwa kliennyalah yang akan menghubungi hakim tersebut. Klien seperti itu memang sejak awal sengaja datang kepada pengacara tertentu yang mau bekerja sama untuk memenangkan perkaranya dengan segala cara, termasuk menyuap hakim.
Riset ICW ini juga diperkuat oleh kesaksian salah satu pengacara yang meminta supaya namanya tak disebutkan. Kepada Kompas.com, ia mengungkapkan bahwa salah seorang klien yang kasusnya tengah diproses di Mahkamah Agung pernah langsung menghubungi hakim-hakim yang akan menangani perkaranya. Kepada sang pengacara ini, klien menceritakan bahwa ia sudah “memegang” dua dari tiga hakim majelis yang menangani kasusnya.
“Tapi, terakhir ternyata kalah juga. Ternyata, katanya, pihak lawan bayar lebih besar sehingga hakim yang tadinya sudah dipegangnya digeser dan digantikan dengan hakim lain. Praktik seperti ini sudah lazim terjadi di lembaga peradilan kita. Kadang sebagai pengacara merasa dikerjain juga,” ujar sumber tersebut.
"Cash and carry"
Seorang pengacara mengakui bahwa tak sedikit rekan seprofesinya yang menjadi bagian dari praktik “haram” itu. Ia menyebutnya sebagai pengacara “SP3”. Biasanya pengacara “aliran” ini piawai melakukan lobi agar kasus kliennya tak dilanjutkan. “Ciri-cirinya, pengacara terkenal, kaya raya, tapi enggak pernah keliatan kerja di pengadilan. Dia kerjanya di belakang layar. Ya seperti itulah,” katanya.
“Eksekusi” dari lobi dengan oknum mafia kasus biasanya diselesaikan dengan cash and carry dan tak jarang diselesaikan oleh sang pengacara. Pembagian “kue” tak akan dilakukan dengan sistem transfer antarbank. Uang biasanya diserahkan langsung. Selain untuk menghindari pajak penghasilan, hal ini tentunya juga untuk menghindari catatan transaksi keuangan yang bersangkutan.
“Saya pernah main ke kantor pengacara kondang itu, ada satu ruangan yang memang khusus untuk tempat transaksi. Saya ditunjukin sebuah ruangan yang enggak ada meja kerjanya, isinya kayak kapal pecah. Mau tahu apa isinya? Bekas amplop, kardus banyak sekali. Katanya, itu bekas tempat uang. Kalau kami bilang, yang seperti itu lawyer hitam,” kata pengacara tersebut.
Anggota Komisi III DPR, Syarifuddin Suding, mengatakan bahwa pimpinan institusi penegak hukum harus bisa menyelesaikan secara transparan dugaan praktik mafia hukum yang bersarang di tiap-tiap lembaga. Kasus SJ atau Gayus, menurutnya, baru terungkap setelah diungkap oleh Susno Duadji.
Di luar itu, jika merujuk pada laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), maka masih banyak aliran dana mencurigakan yang harus ditindaklanjuti dan dicurigai sebagai hasil kerja para mafia kasus. “Akan tetapi, ternyata banyak laporan PPATK yang tidak ditindaklanjuti oleh kepolisian atau kejaksaan. Kami mencurigai, ada apa?” kata Syarifuddin.
Oleh karena itu, dalam rapat kerja dengan Kepala Polri Jenderal Bambang Hendarso Danuri yang dijadwalkan pada pekan depan, materi mengenai makelar kasus ini akan menjadi perhatian utama oleh Dewan. “Kepolisian harus membuka ini semua. Selama ini, pihak beperkara dan kasus itu seolah jadi ATM,” ujarnya.
daftar pustaka
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar