Univ.Gunadarma Kampus H Kelapa Dua

Univ.Gunadarma Kampus H Kelapa Dua

Univ.Gunadarma Kampus G Kelapa Dua

Univ.Gunadarma Kampus G Kelapa Dua

Univ.Gunadarma Kampus E Kelapa Dua

apa pendapat anda tentang blog ini

welcome to blogger dedy syamsudin

welcome to blogger dedy syamsudin

Jumat, 26 Februari 2010

TUGAS KN III

NAMA : DEDY SYAMSUDIN
KELAS : 2 DB 07
NPM : 30108512

KATA PENGANTAR
Segala puji bagi allah swt, atas izinnya saya dapat mengerjakan tugas ini,
Semoga tugas ini bermanfaat bagi semua yang membacanya, karena rakyat Indonesia seakan acuh tak acuh terhadap pasal-pasal yang telah di tetapkan pemerintah,.dan mungkin setelah membaca tugas ini kita semua sbagai rakyat Indonesia akan mematuhi semua aturan- aturan yang ada.




Jakarta, februari 2010
(Mario)






DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………….2
1.1 PASAL 28 UUD 1945 DARI MASA KE MASA…………………………………3
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………………..7





PASAL 28 UUD 1945 DARI MASA KE MASA



Setelah Soeharto berhasil diturunkan dari kedudukannya sebagai Presiden,
maka Pasal 28 UUD 1945 kembali dihidupkan. Pasal 28 tersebut berbunyi,
"Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan
tulisan dan sebagainya diatur dengan undang-undang". Hal itu terbayang dari
suara-suara untuk melahirkan partai-partai politik, baik dari kalangan
nasionalis, agama maupun kalangan pekerja. Ditambah pula dengan sikap Junus
Yosfiah, Menteri Penerangan yang mencabut Permenpen No 01/1984 dan memberi
kebebasan kepada wartawan untuk memasuki salah satu organisasi wartawan,
yang sesuai dengan hati nuraninya.

Memang ada yang memperkirakan bahwa kemerdekaan untuk mendirikan
organisasi, bersidang dan berkumpul, mengeluarkan buah pikiran dengan lisan
dan tulisan semacam konsesi sementara dari Habibie untuk mencapai
popularitas. Sebab, jika Habibie terang-terangan menolak diberlakukannya
Pasal 28 UUD 1945 akan mencolok benar bagi umum, bahwa Habibie dalam
berpolitik merupakan foto-kopi dari Soeharto. Tentu desakan agar dia segera
turun, akan makin gencar.

Pada 1998 ini, usia Pasal 28 UUD 1945 itu telah memasuki 53 tahun. Satu
usia yang cukup panjang. Dalam masa 53 tahun itu, pasal 28 UUD 1945 pernah
mengenal masa revolusi fisik ( 1945-1950); masa Demokrasi Parlementer (
1950-5 Juli 1959); masa Demokrasi Terpimpin ( 1959 -1965), masa Demokrasi
Pancasila (1966 - 1998) dan masa Kabinet Reformasi.

Perjalanan Pasal 28 UUD 1945 adalah mengenal pasang dan surutnya, sejalan
dengan pasang dan surutnya kehidupan demokrasi di Indonesia. Mari lah kita
ikuti perjalanan Pasal 28 UUD 1945 tersebut dan dari mana ia berasal?

ASAL-USUL PASAL 28 UUD 1945

Penulis sangat terbantu dengan tulisan Sutan Ali Asli yang berjudul:
Sedikit lagi tentang Pasal 28 UUD 1945" (Merdeka, 8/7/95). Menurut Sutan Ali
Asli berdasar riwayatnya, konon Pasal 28 ini datangnya dari Bung Hatta. Ide
ini tanpa rumusan konkrit. Karenanya oleh Soepomo diminta rumusan tersebut
pada Bung Hatta. Konsep asli dari Bung Hatta berbunyi, " Hak rakyat untuk
menyatakan perasaan dengan lisan dan tulisan, hak bersidang dan berkumpul,
diakui oleh negara dan ditentukan dalam Undang-Undang."

Komentar Soepomo atas rumusan Hatta itu, "Kalau begini bunyinya, sebetulnya
menyatakan ada pertentangan antara rakyat dengan negara. Tapi yang dimaksud
oleh tuan Hatta sebetulnya, supaya pemerintah membuat UU tentang hal itu dan
sudah tentu hukum yang menetapkan hak bersidang itu tidaklah nanti ada UU
yang melarangnya."

Rumusan Bung Hatta itu sama sekali tidak menyebut "kemerdekaan". Hanya
berbicara soal hak yang diakui oleh negara dan ditentukan oleh UU. Rumusan
Bung Hatta itu diperbaiki oleh panitia, dengan menangkap esensi pikiran
yang dikehendaki oleh Bung Hatta, yaitu kemerdekaan. Rumusan Panitia
kemudian berbunyi, "Hukum yang menetapkan kemerdekaan penduduk untuk
bersidang dan berkumpul untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan
dll diatur dengan UU." Dalam rumusan ini kemerdekaan disebutkan.

Rumusan panitia itu tidak segera diterima, mengalami perdebatan lagi.
Setelah kata dan lain-lain, diganti dengan dan sebagainya. Rancangan itu
diterima dan ditempatkan pada Pasal 27 sebagai Ayat 3.

Namun persoalannya belum selesai. Pada rapat-rapat hari terakhir
berdasarkan usul Tan Eng Hoa, ayat 3 itu dilepas dari Pasal 27, ditetapkan
menjadi Pasal 28. Sedang redaksinya mengalami perobahan atas usul
Djayadiningrat, hingga jadi pasal yang bunyinya yang kita warisi sekarang.

Demikian lah sekelumit tentang asal-usul Pasal 28 UUD 1945 tersebut.
Sekarang mari kita masuki masa dipraktekannya.

DI MASA REVOLUSI FISIK (1945-1950)

Tak berapa lama setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia diumumkan,
Presiden Soekarno mengemukakan idenya untuk membentuk sebuah Partai
Nasional. Sebelum ide Presiden Soekarno diwujudkan, maka pada 3 November
1945 keluar "Maklumat Pemerintah" tentang Partai Politik. Isinya anjuran
pemerintah tentang pembentukan partai-partai politik.

Dalam maklumat pemerintah itu disebutkan "Berhubung dengan usul Badan
Pekerja Komite Nasional Pusat kepada pemerintah, supaya diberikan kesempatan
kepada rakyat seluas-luasnya untuk mendirikan partai-partai politik, dengan
restriksi, bahwa partai-partai itu hendaknya memperkuat perjuangan kita
mempertahankan kemerdekaan dan menjamin keamanan masyarakat.=20

Pemerintah menegaskan pendiriannya yang telah diambil beberapa waktu yang
lalu, bahwa pemerintah menyukai timbulnya partai-partai politik, karena
dengan adanya partai-partai itulah dapat dipimpin ke jalan yang teratur
segala aliran paham yang ada dalam masyarakat. Selain itu, pemerintah
berharap supaya partai-partai itu telah tersusun, sebelumnya dilangsungkan
pemilihan anggota Badan-Badan Perwakilan rakyat pada Januari 1946.

Maklumat pemerintah ini ditandatangani oleh Wakil Presiden Mohahmad Hatta,
Anjuran pemerintah tentang pembentukan partai-partai politik ini adalah
mengamalkan Pasal 28 UUD 1945.=20

Sesudah imbauan pemerintah ini maka bermunculan lah partai-partai politik
di tanah air, yang kemudian dikenal dengan nama Masyumi, PNI, Partai
sosialis, Partai Buruh Indonesia, PKI, Parkindo, PKRI, PSII, PIR, partai
Murba. Sebagai catatan perlu dikemukakan PKI sendiri, sebelum Maklumat
Pemerintah dikeluarkan pada 21 Oktober 1947 telah muncul ke permukaan.
Partai-partai yang lahir dalam suasana perang kemerdekaan tersebut, mandiri,
mereka hidup dari anggotanya. Umumnya partai-partai ketika itu mempunyai
Badan Usaha sendiri guna membiayai organisasinya. Selain daripada itu, di
antara partai-partai itu ada yang mempunyai badan-badan kelaskaran seperti
Ikayumi dengan Hizbullahnya, PKI dengan Lasykar Merah-nya.

Pada 1946 berdiri organisasi Persatuan Perjuangan (PP) di bawah
pimpinan Tan Malaka. PP terkenal dengan minimum programnya, yaitu "Berunding
atas pengakuan kemerdekaan 100%". Mereka menolak kompromi yang dilakukan PM
Syahrir, karena dianggapnya tak sesuai dengan isi minimum programnya.

Pada 26 Juni 1946 PM Syahrir diculik di Solo oleh kelompok militer
di bawah pimpinan Soedarsono, Komandan Divisi III, di dalamnya termasuk
Komandan Militer Surakarta, Soeharto dan Komandan Batalyon Abdul Kadir
Yusuf. Pada tanggal 1 Juli 1946, 14 orang para pemimpin sipil dari kelompok
tersebut ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan. Di antara yang
ditangkap tersebut ialah Chaerul Saleh. Adam Malik, Buntaran Budhiarto dan
Moh Saleh. Yamin dan Iwakusuma Sumantri sempat lolos.

Pada 2 Juli 1946 para pemimpin sipil yang ditangkap itu dibebaskan
dari penjara Wirogunan oleh pasukan Soedarsono dan dibawa ke markas Resimen
Soeharto di Wijoro. Malam itu juga mereka siapkan surat-surat yang akan
dipaksakan ditanda-tangani Presiden Soekarno besok paginya. Isinya
memberhentikan Kabinet Syahrir. Besok paginya, rombongan Suedarsono
berangkat ke Istana. Soedarsono gagal memaksa Presiden Soekarno, malah ia
ditangkap. Itulah yang dikenal kudeta 3 Juli 1946 yang gagal di Yogyakarta.

Sungguh pun begitu jelasnya tersangkutnya tokoh-tokoh PP dalam
penculikan PM Syahrir dan kudeta 5 Juli, namun pemerintah tidak sampai
membubarkan PP.

Pada Januari 1948 terbentuk Kabinet Hatta, di antara programnya
melakukan rasionalisasi ketentaraan. Hendak membentuk tentara yang
profesional. Awal September 1948 terjadi penculikan dua orang kader PKI-di
Solo, kemudian diculik pula sementara perwira Panembahan Senopali. Sedang
Komandan Divisinya, Butarto yang anti rasionalisasi telah dibunuh secara
gelap sebelumnya. Meletuslah pertempuran di Solo. Xemudian berkembang ke=
Madiun.

Peristiwa Madiun ini oleh Pemerintah Hatta dikatakan pemberontakan=
PKI,
sedang oleh pihak PKI dikatakan provokasi Hatta untuk melaksanakan red drive
proposal dari Amerika. Sebab, ketika itu PKI sedang menyiapkan Kongres fusi
antara PKI, Partai Sosialis dan Partai Buruh. Yang direncanakan akan
dilangsungkan pada 5 Oktober 1948.

Betapa dangkalnya alasan tuduhan Hatta tersebut dapat diketahui=
melalui
pidatonya di sidang Badan Pekerja KNIP tanggal 20 September 1948 untuk
"pemberian kekuasaan penuh" pada Presiden Soekarno, guna menumpas apa yang
dikatakan pemberontakan PKI tersebut. Ini lah antara lain yang dikatakan
Hatta, "Tersiar pula berita - entah benar entah tidak - bahwa Muso akan
menjadi Presiden Republik rampasan itu dan Mr Amir Syarifuddin perdana
menterinya."(Mohammad Hatta kumpulan pidato 1942-1949, pen.Yayasan Idayufi
1981, hal: 264).

Satu kenyataan yang tak dapat disangkal, meski pun telah terjadi
peristiwa Madiun, hak hidup PKI tetap terjamin. Ini menunjukkan berperannya
Pasal 28 UUD 1945.

DI MASA DEMOKRASI PARLEMENTER ( 1950-1959)

Konferensi Meja Sunder yang berlangsung di Den Haag pada 1949, =20
telah berhasil melahirkan Republik Indonesia Serikat(RIS). RIS ini tidak
berumur lama. RI Kesatuan segera terbentuk, dengan UUD 1950. Mukadimah
UUD 1950 ini praktis mengoper Mukaddimah UUD 1945.=20
Menurut Drs AK Pringgodigdo SH dalam "Kata Pengantar" dari tiga UUD,
yang diterbitkan oleh PT Pembangoenan, Jakarta, 1966, dikatakan bahwa: "Jika
dilihat dari sudut sejarah, maka UUD 1950 ini telah merupakan suatu
perbaikan dari pada dua UUD yang berlaku lebih dulu" (UUD 1945 dan UUD 1949
RIS -pen).

Bab I dan pasal 1 dari UUD 1950 ini dengan jelas menyatakan bahwa RI
yang merdeka dan demokratis ini ialah suatu negara hukum yang demokratis
dan berbentuk kesatuan. Kedaulatan rakyat RI adalah di tangan rakyat dan
dilakukan oleh pemerintahan bersama-sama DPR.

Mengenai kemerdekaan berorganisasi, bersidang dan berkumpul, serta
mengeluarkan pendapat dengan lisan dan tulisan, seperti yang terdapat dalam
Pasal 28 UU3 1945, maka dalam UUD 1950 ini ditampung dalam dua pasal, yaitu
Pasal 19 dan Pasal 21.

Pasal 19 berbunyi: "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan
mengeluarkan pendapat. Sedangkan Pasal 21 berbunyi: "Hak penduduk atas
kebebasan berkumpul dan berapat diakui dan diatur dengan UUD".

Dengan UUD 1950 ini, partai-partai yang terdapat dalam masa revolusi
fisik, juga dapat terus berjalan. Menurut buku "Kepartaian dan Parlementaria
Indonesia" yang diterbitkan Kementerian Penerangan tahun 1954, partai-par-
tai yang ada ketika itu, pertama, ialah yang berdasarkan kebangsaan. Antara
lain PNI, Harindra, Partai Tani Indonesia, Permai(Partai Persatuan RaLcyat
Harhaen Indonesia), Partai Serikat Kerakyatan lndonesia (SlCI), Partai
Wanita Rakyat, Partai Kedaulatan Rakyat (PKR), Partai Persatuan Indonesia
Raya (PIR), Partai Kebangsaan lndonesia (Parki), Partai Republik Indonesia
Merdeka (PRIM), Partai Rakyat Indonesia (PRI), Partai Rakyat Nasional (PRN)
dan Partai Republik.

Yang ke dua adalah yang berdasar pada keagamaan. Antara lain PSII,
Partai Katolik, Partai NU, Partai Politik Islam Perti (Pergerakan Tarbiyah
Islamiyah), Masyumi dan Parlindo.

Yang ke tiga adalah yang berdasarkan sosialisme, yaitu PKI, PSI,
Partai Murba dan Partai Buruh.

Pada 17 Oktober 1952 Jenderal Nasution menghadapkan moncong meriam
ke Istana Merdeka, untuk memaksa Presiden Soekarno membubarkan Parlemen, di
mana partai-partai memainkan peranan yang penting di lembaga parlemen
tersebut. Aksi ini juga ditunjang oleh demonstrasi massa di bawah pimpinan
Dr Mustopo yang PSI. Presiden Soekarno dengan tegas menolak tuntutan
Jenderal Nasution tersebut, Bung Karno tak mau jadi diktator.

Meski pun Peristiwa 17 Oktober 1952 yang gagal itu didukung oleh=
PSI,
melalui Dr Mustopo, namun PS1 juga tidak dibubarkan oleh Presiden Soekarno.
Hanya jabatan KASAD dicabut dari Jenderal Nasution.

Dengan UUD 1950 ini berlangsung kah pemilihan umum yang demokratis=
pada
tahun 1955. Pemilu untuk memilih an=9Cgota-anggota DPR dan Konstituante.=
Hasil
pemilu untuk DPR menunjukkan adanya 4 besar di Indonesia yaitu PNI, Masyumi,=
=20
NU dan PKI. Pada tahun 1957 diselenggarakan pemilu untuk DPRD-DPRD dan=
hasil-
nya suara yang terbesar di Jawa didapat oleh PKI.

Sidang Konstituante tidak berhasil menetapkan UUD yang baru bagi RI.
Karena masing-masing pihak, baik pihak yang menghendaki negara berdasarkan
Islam maupun yang menghendaki berdasarkan Pancasila sama-sama tak bisa
memperoleh 2/3 suara, sebagai syarat untuk bisa ditetapkannya sebagai kepu
tusan.

Menurut Ahmad Syafii Maarif dalam bukunya "Islam dan masalah
kenegaraan", yang terbit 1985 mengatakan "Dalam menolak Pancasila dan
mempertahankan Islam sebagai dasar negara, partai-partai Islam bersatu,
sebagaimana telah disebut kan di muka."(hal: 145)

Jadi, jelas partai-partai Islam menolak Pancasila dalam=
Konstituante.
Kegagalan Konstituante menetapkan dasar-dasar negara ini menyebabkan
Presiden Soekarno, atas dorongan Jenderal Nasution, mendekritkan kembali ke
UUD 1945 pada 5 Juli 1959. Konspirasi terdapat antara Presiden Soekarno dan
Jenderal Nasution karena sama-sama berkepentingan kembalinya ke UUD 1945.
Bagi Presiden Soekarno dengan kembali ke UUD 1945 terbuka baginya untuk
lebih berkuasa, sedang bagi Nasution terbuka pintu bagi ABRI masuk dalam
kekuasaan, yang sudah dicita-citakannya sejak Peristiwa 17 Oktober 1952 yang
gagal itu.








DAFTAR PUSTAKA
-GOOGLE.COM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar